PEMILUKADA TAPUT, DEMOKRATISASI YANG TERSANDERA
Rinto Anarto Aritonang
Abstrak
Pemilukada Taput dalam keadaan tersandera oleh
permasalahan dalam proses yang berujung pada nilai kecacatan hukum.
Kata
Kunci
Pemilukada Taput menyandera demokratisasi.
Pendahuluan
Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) dalam negara demokrasi Indonesia
merupakan suatu proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara
berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi.
Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum (pemilu) yang sesuai dengan konstitusi
antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat
(demokrasi) ditandai bahwa setiap penduduk Taput berhak ikut aktif dalam setiap
proses pengambilan keputusan untuk masa depan Kabupaten ini. Dari
prinsip-prinsip tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan kegiatan
politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah
negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sehingga, Demokratisasi
sebagai proses demokrasi dan merupakan suatu perubahan baik itu perlahan
maupun secara cepat kearah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global
yang tidak bisa dihentikan. Jika demokratisasi
tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang
saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah (BJ
Habibie 2005).
Pelaksanaan proses demokrasi yang diamanahkan negeri
ini kepada Penyelenggara Pemilu tidak bisa lepas dari pedoman akan asas
mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Penyelenggaran kepemiluan sebagai langkah proses demokrasi
dalam konsep Robert Dahl disebutkan bahwa pemilihan umum merupakan gambaran
ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Gambaran
ini tentunya dapat dipresentasikan untuk Pemilukada sebagai suatu parameter
dalam mengukur demokratis tidaknya suatu daerah.
Dan parameter demokratisnya, menurut Mantan anggota
Komisi Pemilihan Umum Pusat, Mulyana W. Kusuma, menegaskan bahwa pelaksanaan
Pemilihan Umum yang bisa dianggap demokratis harus memenuhi sembilan unsur.
Kesembilan unsur itu adalah hak pilih universal,
persamaan hak pilih, pemilihan langsung, kerahasiaan pemberian suara,
regularitas pemilu, terbuka dan transparan, bebas dan otentik.
Sungguh merupakan sesuatu yang pantas menjadi perhatian
seluruh komponen masyarakat. Sebab, demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan
oleh rakyat yang dalam pengertian sederhananya merupakan sebuah system politik
dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih
melalui pemilu yang adil, jujur dan berkala.
Pemilukada memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara
elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang
lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini
akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika Pemilukada diadakan dengan
adil dan demokratis.
Oleh karenanya, harapan penulis, Pemilukada Taput pada
Kamis, 10 Oktober 2013 sebagai agenda demokrasi dan hari penentu masa
depan daerah ini harus terlaksana secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil serta penuh kepastian hukum.
Pembahasan
Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
(Pemilukada) Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) yang sesuai tahapan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Taput dilaksanakan pada hari Kamis, 10 Oktober 2013
diyakini diyakini penulis sebagai agenda Pemilukada yang rumit dan cacat serta
telah menempatkan proses demokratisasi di daerah ini dalam posisinya yang
tersandera.
Demokratisasi sebagai proses demokrasi yang berkaitan
erat dengan hak dan kewajiban warga Negara telah tersandera dengan
keberlangsungan proses Pemilukada yang cacat hukum.
Namun bukan hanya itu, konflik sosial sebagai ujung
rentetan tak terpisahkan dari proses demokrasi yang menyalah dan buramnya
sebuah kebijakan untuk dipresentasikan
dalam sebuah keputusan oleh pihak penyelenggara Pemilukada, tak anyal disebut
akan menjadi pemicu utama terjadinya konflik. Walau tidak diiinginkan nyata,
Pemilukada Taput sebagai sebuah kecenderungan demokratisasi yang tersandera,
selayaknya akan terjawab oleh waktu.
Proses penerimaan pendaftaran Bakal Calon (Balon)
Bupati/Wakil Bupati hingga pada penetapan nomor urut peserta oleh KPU Taput No.
1154/BA/VII/2013, dapat disimpulkan sebagai awal buruk cita cita luhur pesta
demokrasi di daerah ini. Meski bukan sebuah kejadian yang pertama kalinya dalam
skala nasional namun setidaknya proses pelaksanaan Pemilukada Taput dapat
menjadi referensi massif untuk sebuah
perhelatan pesta demokrasi negeri ini dalam perjalanan panjangnya mewujudkan
sebuah paham demokratisasi luhur, yang mengedepankan asas kepastian hukum dalam
Pemilu disamping asas lainnya, yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur serta
adil.
Saat proses pendaftaran dibuka KPU Taput dalam
tahapannya, pengakomodiran nilai nilai demokratisasi seakan nyata
diperjuangkan.
Pemilukada memang sebagai sarana aplikasi atas hak
dipilih dan memilih seorang warga negara dalam konteks kedaerahan sebagai manifesto desentralisasi memang harus
dijunjung tinggi. Meski, sebuah pengambilan kebijakan selaku institusi
penyelenggara Pemilukada, selayaknya mengedepanan pemahaman hukum dan
peraturan.
Sebab, merupakan sebuah langkah yang terburu buru.
Ketika, sebanyak 6 pasangan balon dengan usungan masing masing dukungan Partai
Politik yang mendaftarkan diri ditambah 1 pasangan lainnya dari jalur perseorangan
diakomodir dan ditetapkan menjadi pasangan Calon sebagai peserta Pemilukada
Taput dapat dinilai dilakukan tanpa pemahaman hukum yang mumpuni.
Karena berdasarkan Undang Undang No.32/2004 yang
mengalami perubahan kedua menjadi Undang Undang No.12/2008, dan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.13/2010 maupun PKPU No.9/2012, soal dukungan (Partai
Politik (parpol) pengusung telah ditetapkan jika setiap kandidat diharuskan
memperoleh dukungan minimal 15 persen suara. Bahkan untuk pasangan balon yang
mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan bagi daerah Kabupaten dengan
jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu jiwa juga harus memiliki dukungan suara
minimal 5 persen sesuai yang tertuang di pasal 4 dan pasal 8 PKPU 13/2010.
Bahkan ditekankan, jika dalam pasal PKPU No.9/2012
bahwa Partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat mengusulkan 1
pasangan calon dan pasangan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh
partai politik atau gabungan partai politik lainnya.
Namun, apa lacur, jumlah persentase dukungan parpol
untuk ke tujuh balon terdaftar yang kemudian ditetapkan sebagai pasangan calon
telah mengangkangi peraturan. Hal ini terbukti dengan jumlah suara dukungan
parpol untuk 6 paslon sebesar 114,14 persen yang terdiri atas dukungan suara
parpol untuk paslon Sanggam Hutagalung-Sahat HMT Sinaga 20 persen, Ratna Ester
Lumbantobing-Refer Harianja sudah 19,86 persen, Bangkit Silaban-David PPH
Hutabarat 20 persen, Kemudian paslon Saur Lumbantobing-Manerep Manalu 17,14
persen. Dan, Nikson Nababan-Mauliate Simorangkir memperoleh 20 persen dukungan
suara. Serta paslon Banjir Simanjuntak-Maruhum Situmeang 17,14 persen. Pengakomodiran
jumlah dukungan suara parpol pengusung tersebut telah melebihi kuota total
dukungan suara parpol yang maksimum 100 persen. Sebuah awal dari demokratisasi
Pemilukada yang tersandera, sebab telah mengangkangi Undang Undang Pemilu serta
aturan penyelenggara pemilu itu sendiri.
Drama ketersanderaan atas demokratisasi Pemilukada
Taput rupanya tidak sampai disana saja. Sebab, pasangan balon Pinondang
Simanjuntak-Ampuan Situmeang yang pendaftarannya tidak dilanjutkan ke ranah
penetapan oleh KPU Taput atas dukungan parpol pengusung yang diklaim tidak
memenuhi syarat harus berujung pada pemenuhan hak konstitusional pasangan tersebut
di Pemilukada Taput yang diputuskan oleh Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu.
Calon Bupati/Wakil Bupati Taput Pinondang-Ampuan pun
secara sah ditetapkan penyelenggara Pemilukada sebagai peserta bernomor urut 8.
Dukungan politik Partai PPRN, Barnas, PPIB, dan Partai Buruh yang kepemilikan
sebelumnya diklaim paslon lainnya, ditetapkan sah untuk paslon
Pinondang-Ampuan. Meski paslon yang sebelumnya mendapatkan penetapan sebagai
peserta Pemilukada atas dukungan parpol yang sama tidak kunjung mendapat imbas
putusan.
Putusan penetapan peserta Pemilukada Taput oleh KPU
Sumut yang tertuang di No.3122/Kpts/KPU-Prov-002/IX/2013 dinilai penulis sebagai putusan penyelenggara
pemilu yang paling kontroversial. Karena putusan KPU Sumut sebagai tindak
lanjut perintah putusan DKPP No.92/DKPP-PKE-II/2013 yang merupakan sebuah tera
keikutsertaan pasangan tersebut dinilai hanya dilakukan sekedar untuk
mengakomodir isi putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat.
Dalam berkas amar putusan DKPP itu. Keinginan selaku
salah satu institusi penyelenggara pemilu untuk meluruskan nilai ketersanderaan
Pemilukada Taput seharusnya disikapi KPU Sumut untuk memberikan kepastian hukum
atas proses demokrasi ini.
Dalam putusannya, KPU Sumut yang dihunjuk DKPP untuk
mengambil alih sementara tugas penyelenggaraan Pemilukada Taput, justru menilai
sepihak bahwa putusan DKPP yang memang secara eksplisit tidak memerintahkan
untuk melakukan verifikasi ulang atas peserta Pemilukada, disikapi dengan
spontanitas pengakomodiran keikutsertaan pasangan Pinondang Simanjuntak-Ampuan
Situmeang dalam perhelatan pesta demokrasi Taput. Keputusan yang kontroversial
di tengah masyarakat Taput ini semakin menenggalamkan proses Pemilukada dalam
ketersanderaan demokratisasi yang semakin dalam.
Sebab, nyata secara kasat mata dan terang benderang,
proses yang terjadi telah melanggar Undang Undang Pemilu dan Peraturan KPU dan
menempatkan perjalanan Pemilukada Taput ke depan dalam posisi cacat hukum.
Secara logis, proses yang telah cacat hukum secara otomatis berimplikasi
terhadap hasil yang juga akan cacat hukum.
Lantas, bagaimana nasib dan kehidupan masyarakat Taput
ke depan. Sebab proses yang cacat tersebut telah menimbulkan ketidakjelasan.
Ketidakjelasan yang muncul dari ketidakpastian hukum atas pelaksanaan
Pemilukada Taput akan menimbulkan kerugian material dan non material yang
ditanggung seluruh warga di Kabupaten ini. Sebab, biaya pelaksanaan Pesta
demokrasi bersumber dari uang rakyat yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten Taput.
Kesimpulan
Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kabupaten Tapanuli Utara segera menjalankan peran aktifnya untuk menghentikan
proses Pemilukada yang sedang berlangsung hingga kecacatan dalam proses yang
terlanjur terjadi dapat diperbaiki. Pihak pihak terkait, seperti Panitia
Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Taput, Panwaslu Provinsi Sumut, Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP sendiri selayaknya melakukan koreksi konkret
demi melepaskan Pemilukada Taput dari ketersanderaan demokratisasi.
Dalam PKPU 9/2012 memang disebutkan jika
penundaan Pemilukada hanya akan terjadi jika ada bencana alam dan konflik
sosial. Namun, karena kecacatan tersebut terkesan dalam pembiaran. Maka tidak
ada jalan lain selain peran aktif seluruh penyelenggara pemilu untuk mencarikan
solusi terbaik. Karena bagaimanapun, proses yang cacat akan menghasilkan produk
yang cacat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar